JANGAN SAMPAI MENCELA WAKTU!

Sial banget hari ini, kami selalu kalah jika bertanding pas hari Rabu?“, ujar seseorang ketika kalah bertanding futsal.

Bulan Suro, bulan penuh petaka!“, kata seseorang yang sering menaruh sial pada bulan Suro ketika ia dapati berbagai musibah.

Bolehkah mencela waktu seperti itu?

Perlu kita ketahui bersama bahwa mencela waktu adalah kebiasaan orang-orang musyrik. Mereka menyatakan bahwa yang membinasakan dan mencelakakan mereka adalah waktu. Allah pun mencela perbuatan mereka ini. Allah Ta’ala berfirman,

وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ

Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dantidak ada yang akan membinasakan kita selain masa (waktu)“, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS. Al Jatsiyah [45] : 24). Jadi, mencela waktu adalah sesuatu yang tidak disenangi oleh Allah. Itulah kebiasan orang musyrik dan hal ini berarti kebiasaan yang jelek.

Begitu juga dalam berbagai hadits disebutkan mengenai larangan mencela waktu.

Dalam shohih Muslim, dibawakan Bab dengan judul ’larangan mencela waktu (ad-dahr)’. Di antaranya terdapat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

Allah ’Azza wa Jalla berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.” (HR. Muslim no. 6000)

Dalam lafadz yang lain, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَقُولُ يَا خَيْبَةَ الدَّهْرِ. فَلاَ يَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ يَا خَيْبَةَ الدَّهْرِ. فَإِنِّى أَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ لَيْلَهُ وَنَهَارَهُ فَإِذَا شِئْتُ قَبَضْتُهُمَا

Allah ’Azza wa Jalla berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mengatakan ’Ya khoybah dahr’ [ungkapan mencela waktu, pen]. Janganlah seseorang di antara kalian mengatakan ’Ya khoybah dahr’ (dalam rangka mencela waktu, pen). Karena Aku adalah (pengatur) waktu. Aku-lah yang membalikkan malam dan siang. Jika suka, Aku akan menggenggam keduanya.”  (HR. Muslim no. 6001)

An Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shohih Muslim (7/419) mengatakan bahwa orang Arab dahulu biasanya mencela masa (waktu) ketika tertimpa berbagai macam musibah seperti kematian, kepikunan, hilang (rusak)-nya harta dan lain sebagainya sehingga mereka mengucapkan ’Ya khoybah dahr’ (ungkapan mencela waktu, pen) dan ucapan celaan lainnya yang ditujukan kepada waktu.

Setelah dikuatkan dengan berbagai dalil di atas, jelaslah bahwa mencela waktu adalah sesuatu yang telarang. Kenapa demikian? Karena Allah sendiri mengatakan bahwa Dia-lah yang mengatur siang dan malam. Apabila seseorang mencela waktu dengan menyatakan bahwa bulan ini adalah bulan sial atau bulan ini selalu membuat celaka, maka sama saja dia mencela Pengatur Waktu, yaitu Allah ’Azza wa Jalla.

Perlu diketahui bahwa mencela waktu bisa membuat kita terjerumus dalam dosa bahkan bisa membuat kita terjerumus dalam syirik akbar (syirik yang mengekuarka pelakunya dari Islam). Perhatikanlah rincian Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dalam Al Qoulul Mufid ’ala Kitabit Tauhid berikut.

Mencela waktu itu terbagi menjadi tiga macam:

Pertama; jika dimaksudkan hanya sekedar berita dan bukanlah celaan, kasus semacam ini diperbolehkan. Misalnya ucapan, ”Kita sangat kelelahan karena hari ini sangat panas” atau semacamnya. Hal ini diperbolehkan karena setiap amalan tergantung pada niatnya. Hal ini juga dapat dilihat pada perkataan Nabi Luth ’alaihis salam,

هَـذَا يَوْمٌ عَصِيبٌ

Ini adalah hari yang amat sulit.” (QS. Hud [11] : 77)

Kedua; jika menganggap bahwa waktulah pelaku yaitu yang membolak-balikkan perkara menjadi baik dan buruk, maka ini bisa termasuk syirik akbar. Karena hal ini berarti kita meyakini bahwa ada pencipta bersama Allah yaitu kita menyandarkan berbagai kejadian pada selain Allah. Barangsiapa meyakini ada pencipta selain Allah maka dia kafir. Sebagaimana seseorang meyakini bahwa ada sesembahan selain Allah, maka dia juga kafir.

Ketiga; jika mencela waktu karena waktu adalah tempat terjadinya perkara yang dibenci, maka ini adalah haramdan tidak sampai derajat syirik. Tindakan semacam ini termasuk tindakan bodoh (alias ’dungu’) yang menunjukkan kurangnya akal dan agama. Hakikat mencela waktu, sama saja dengan mencela Allah karena Dia-lah yang mengatur waktu, di waktu tersebut Dia menghendaki adanya kebaikan maupun kejelekan. Maka waktu bukanlah pelaku. Tindakan mencela waktu semacam ini bukanlah bentuk kekafiran karena orang yang melakukannya tidaklah mencela Allah secara langsung. –Demikianlah rincian dari beliau rahimahullah yang sengaja kami ringkas-

Maka perhatikanlah saudaraku, mengatakan bahwa waktu tertentu atau bulan tertentu adalah bulan sial atau bulan celaka atau bulan penuh bala bencana, ini sama saja dengan mencela waktu dan ini adalah sesuatu yang terlarang. Mencela waktu bisa jadi haram, bahkan bisa termasuk perbuatan syirik. Hati-hatilah dengan melakukan perbuatan semacam ini. Oleh karena itu, jagalah selalu lisan ini dari banyak mencela. Jagalah hati yang selalu merasa gusar dan tidak tenang ketika bertemu dengan satu waktu atau bulan yang kita anggap membawa malapetaka. Ingatlah di sisi kita selalu ada malaikat yang akan mengawasi tindak-tanduk kita.

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ (16) إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ (17)

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan para malaikat Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri.” (QS. Qaaf [50] : 16-17)

Semoga Allah memberi taufik untuk menjaga lisan ini dari murka-Nya.

Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, MSc

Sumber: Artikel http://www.rumaysho.com

Antara Halal & Haram Ada Syubhat

Antara Halal & Haram Ada Syubhat

Dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنَّ الحَلالَ بَيِّنٌ وإنَّ الحَرَامَ بَيِّنٌ ، وبَينَهُما أُمُورٌ مُشتَبهاتٌ ، لا يَعْلَمُهنّ كثيرٌ مِن النَّاسِ ، فَمَن اتَّقى الشُّبهاتِ استبرأ لِدينِهِ وعِرضِه ، ومَنْ وَقَعَ في الشُّبُهاتِ وَقَعَ في الحَرَامِ ، كالرَّاعي يَرعَى حَوْلَ الحِمَى يُوشِكُ أنْ يَرتَعَ فيهِ ، ألا وإنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى ، ألا وإنَّ حِمَى اللهِ محارِمُهُ ، ألا وإنَّ في الجَسَدِ مُضغَةً إذا صلَحَتْ صلَحَ الجَسَدُ كلُّه ، وإذَا فَسَدَت فسَدَ الجَسَدُ كلُّه ، ألا وهِيَ القَلبُ
“Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas, yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada perkara-perkara yang samar (syubhat), yang tidak diketahui oleh banyak manusia. Barangsiapa yang menghindari syubhat itu berarti dia telah membersihkan diri untuk agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus ke dalam syubhat itu berarti dia terjerumus ke dalam perkara yang haram, seperti seorang penggembala yang menggembalakan (binatang ternaknya) di sekitar daerah terlarang, hampir-hampir dia akan masuk menggembalakan (binatang ternaknya) di daerah tersebut. Ketahuilah, bahwa setiap raja memiliki daerah terlarang. Ketahuilah bahwa daerah terlarang milik Allah adalah perkara-perkara yang haram. Ketahuilah, bahwa dalam tubuh ada segumpal daging, jika baik maka akan menjadi baik seluruh tubuh, dan jika buruk menjadi buruklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa itu adalah hati.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Hadits di atas adalah salah satu hadits yang menjadi pondasi dasar agama Islam. Imam Ahmad rahimahullah pernah mengatakan, “Pondasi dasar agama Islam ada pada tiga hadits: hadits Umar (Sesungguhnya semua amalan dengan niat), hadits Aisyah (barangsiapa membuat-buat hal baru dalam urusan kami yang bukan termasuk padanya, pasti tertolak) dan hadits Nu’man bin Basyir, (Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas).”

Halal, Haram dan Syubhat

Keagungan hadits ini akan nampak jelas ketika kita mengetahui kandungan hadits ini. Cobalah kita renungkan sejenak. Sebagai hamba Allah, kita dituntut untuk berlaku, berbuat dan beraktivitas sesuai dengan aturan-aturan Allah. Ini adalah sesuatu hal yang wajar dan maklum. Nah, ternyata hadits yang mulia ini telah menjelaskan secara lengkap hukum dari segala sesuatu yang kita hadapi. Yang mana dengan mengetahui hukum-hukum itu kita bisa bertindak sesuai dengan aturan Allah. Tanpa mengetahuinya, kita akan bingung dan tentu saja tidak akan bisa bertindak sesuai dengan aturan Allah.

Hadits di atas menjelaskan secara garis besar bahwa segala perkara yang kita hadapi tidak bisa lepas dari salah satu tiga keadaan.

Pertama, sesuatu yang jelas kehalalannya dan diketahui oleh setiap orang. Seperti halalnya buah-buahan, biji-bijian, jual beli yang jelas, pakaian-pakaian yang tidak menyelisihi syariat, dan lain-lain banyak sekali tanpa bisa dibatasi.

Kedua, sesuatu yang jelas keharamannya dan diketahui oleh setiap orang. Seperti haramnya riba, perjudian, zina, pencurian, minuman khamr, bangkai, darah, daging babi, dan lain sebagainya.

Ketiga, perkara-perkara yang samar, tidak diketahui oleh banyak orang apakah ia termasuk perkara yang halal atau perkara yang haram, meskipun orang lain mengetahui bahwa ia termasuk halal atau haram. Contohnya, seperti makanan, minuman atau hal lain yang diperselisihkan kehalalan atau keharamannya oleh para ulama. Golongan ketiga inilah yang akan sedikit kita bicarakan di sini.

Maksud dan Penyebab Kesamaran (Syubhat)

Sesungguhnya apa yang Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggalkan untuk umat ini berupa perkara yang halal ataupun yang haram telah dijelaskan. Hanya saja penjelasan dari hal itu berbeda-beda tingkat kejelasannya. Sebagian dari perkara-perkara itu ada yang sangat gamblang penjelasannya, jelas dan mudah dipahami oleh seluruh manusia sehingga jelaslah perkara itu apakah termasuk yang halal atau yang haram. Namun sebagian yang lain lebih rendah tingkat kejelasannya sehingga menimbulkan kesamaran bagi sebagian orang, terutama yang tidak memiliki modal ilmu untuk memahami penjelasan tersebut.

Disamping itu, banyak sekali perkara-perkara yang jika dilihat dari satu sisi memiliki kedekatan dengan perkara yang haram tapi dari sisi lain memiliki kedekatan dengan perkara yang dihalalkan. Sehingga jadilah keraguan untuk menetapkan apakah perkara ini termasuk perkara yang halal atau haram.

Secara umum, kesamaran hukum suatu perkara itu bisa ditimbulkan karena kesamaran yang terjadi pada salah satu dari dua sebab atau karena keduanya. Pertama karena kesamaran dalil yang menunjukkan keharaman atau kehalalan. Baik karena kesamaran dalam keabsahan dalil, atau karena kesamaran pada ketegasan dalil dalam menunjukkan keharaman atau kehalalan perkara yang dimaksud. Dan sebab kedua adalah kesamaran dalam hal kecocokan atau ketepatan perkara yang akan dihukumi dengan dalil yang menunjukkan keharaman atau kehalalan.

Dari sinilah timbul berbagai kesamaran hukum pada banyak perkara, apakah ia merupakan hal yang halal atau hal yang haram. Kesamaran seperti inilah yang dimaksud dengan syubhat antara halal dan haram yang disebutkan dalam hadits di atas. Karena pada hakikatnya, semua perkara itu hanya ada dua hukum saja yaitu halal atau haram.

Dan penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa perkara-perkara yang samar (syubhat) tidak diketahui oleh banyak manusia, menunjukkan bahwa ada banyak manusia lain yang mengetahui hakikat perkara ini apakah termasuk halal ataukah haram. Sehingga, perkara syubhat itu bersifat relatif, yakni samar bagi sebagian orang namun tidak bagi yang lain. Atau samar bagi sebagian orang dalam jangka waktu tertentu sampai akhirnya perkara itu menjadi jelas karena adanya keterangan-keterangan yang menunjukkan pada hukum yang sebenarnya.

Bagaimana menyikapi?

Sesuatu yang telah jelas kehalalannya atau keharamannya, maka jelas pula bagi kita bagaimana menyikapinya. Karena yang halal tentu saja boleh kita lakukan sedangkan yang haram harus kita tinggalkan. Oleh karena itu, ketika syubhat itu bersifat relatif, sebagaimana dijelaskan di atas, maka bagi orang yang telah mengetahui hakikat suatu perkara apakah termasuk yang halal atau haram, meskipun perkara itu bagi orang lain termasuk syubhat, dia harus menyikapinya sesuai dengan hukum yang dia ketahui. Jika haram maka dia tinggalkan namun jika halal berarti dia boleh mengambilnya.

Adapun bagi orang yang memiliki kesamaran hukum pada suatu perkara tertentu, maka hadits di atas telah memberikan bimbingan dan pengarahan yang jelas. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maka siapa yang menghindari syubhat itu berarti dia telah membersihkan diri untuk agama dan kehormatannya.”

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu merupakan pengarahan bagi siapa saja yang menghadapi perkara syubhat, untuk meninggalkannya dan tidak menjerumuskan diri kepadanya. Karena perkara syubhat ini jelas meragukan. Sedangkan dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Tinggalkanlah perkara yang meragukanmu kepada perkara yang tidak meragukan.” (Riwayat at-Tirmidzi dan dia berkata, hadits hasan shahih)

Dan alasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengarahkan kita untuk menjauhi syubhat nampak pada perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang menghindari syubhat itu berarti dia telah membersihkan diri untuk agama dan kehormatannya.”

Yakni, dengan kita menjauhi syubhat, berarti kita telah berusaha menjaga diri kita dari perkara yang haram. Sehingga kita berarti telah membersihkan diri dalam agama, dalam hubungan kita dengan Allah. Dan dengannya kita pun akan terbebas dari pembicaraan manusia akan kehormatan kita. Karena jika kita melakukan perkara yang syubhat, banyak orang akan mengatakan fulan melakukan ini dan itu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengatakan, “Dan siapa yang terjerumus ke dalam syubhat itu berarti dia terjerumus ke dalam perkara yang haram, seperti seorang penggembala yang menggembalakan (binatang ternaknya) di sekitar daerah terlarang, hampir-hampir dia akan masuk menggembalakan (binatang ternaknya) di daerah tersebut.”

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dijelaskan oleh para ulama dengan dua kemungkinan makna.

Pertama, orang yang masuk ke dalam syubhat, berarti dia telah melakukan perkara yang haram. Karena dengan terjerumusnya dia ke dalam syubhat berarti dia telah melakukan suatu hal yang tidak didasari dengan ilmu. Dan perbuatan ini jelas diharamkan oleh Allah. Padahal adanya syubhat padanya menunjukkan bahwa dia tidak memiliki ilmu yang pasti tentangnya.

Makna kedua, masuknya seseorang ke dalam syubhat adalah jalan kepada perkara yang haram. Yakni, ketika dia bermudah-mudah dalam perkara syubhat, dikhawatirkan dia akan terjerumus ke dalam perkara yang haram dan meremehkannya. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar daerah larangan, sangat dikhawatirkan ternaknya akan masuk ke daerah larangan tersebut.

Apapun kemungkinan maknanya, yang jelas di sini adalah petunjuk bagi kita untuk meninggalkan segala perkara yang syubhat, yang meragukan, sehingga kita benar-benar mengetahui hukumnya secara yakin. Dan Allah lah satu-satunya Dzat yang memberikan taufiq.

Artikel www.majalahsakinah.com

MTDHK 30 | Waspada Virus Valentine !!!

Taushiyah ke 30, Selasa 13 Rabi’uts Tsani 1436 / 03 Pebruari 2015

Valentine’s Day adalah perayaan resmi Nasrani dan ummat Islam dilarang ikut-ikutan merayakan, ini adalah wilayah aqidah yang kita harus tegas dan tidak mencampuradukkan antara hak dan batil.

Dalam The Catholic Encyclopedia, Vol. XV sub judul; Santo Valentino, diurai tentang sejarah Valentino. Sumber ini setidaknya menampilkan kisah Valentino dalam 3 versi. Inti dari semuanya adalah bahwasanya hari Valentine adalah untuk mengenang Pendeta St. Valentine yang hidup di akhir abad ke 3 M di zaman Raja Romawi Claudius II. Pada tanggal 14 Februari 269 / 270 M Claudius II menghukum mati St.Valentine yang telah menentang beberapa perintahnya.

Dalam The Encyclopedia Britania, Vol XII, sub judul: Chistianity, dijelaskan bahwa untuk lebih mendekatkan ke dalam agama Kristen, pada 496 M Paus Glasisus I menjadikan kisah ini menjadi perayaan gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati Pendeta St. Valentine yang dieksekusi pada tangal 14 Februari (The World Encylopedia 1998).

Semangat Valentine adalah Semangat Berzina dan Pelecehan Kaum Perempuan

Ritus hari Valentine’s yang mengusung panji percintaan dan kasih sayang, diperingati dengan berbagai cara. Ada yang mengekspresikannya dalam bentuk memakai pakaian dan apa saja yang berwarna pink. Pengiriman kartu yang kadang-kadang disertai dengan hadiah yang sarat dengan simbol LOVE. Namun ada yang merayakan dengan menggelar pesta makan, minum yang diiringi musik dansa yang dinyanyikan secara berpasangan. Bahkan diakhiri hubungan seks alias berzina.

Banyak Perempuan Hamil Diluar Nikah Karena Hasil Zina Pada Malam Tahun Baru dan Valentine Day..?!

Seorang pejabat KUA mengatakan bahwa setiap Maret – April pasti ada yang mengajukan dispensasi nikah ke pengadilan agama karena yang perempuan itu hamil duluan.

Pola yang sama didapati pada bulan April – Mei. Kalau yang ini hasil “produksi” valentine day di bulan Pebruari.

Jadi, hari Valentine lebih tepat disebut dengan HARI PELECEHAN KEHORMATAN.

Hukum Merayakan Valentine

Allah Ta’aala berfirman:
Katakanlah: “Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 1-6).

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wasallam bersabda,
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum berarti ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Daud dll).

Para Ulama Rahimahumullah mengatakan bahwa ikut-ikutan dalam merayakan Valentine atau perayaan-perayaan non muslim lainnya hukumnya adalah haram, bahkan lebih haram dan lebih besar dosanya daripada meminum khamer atau narkoba, berzina, berjudi dan dosa-dosa besar lainnya, karena dosa ikut serta dalam perayaan non muslim mengandung unsur syirik dan kufur, yaitu ikut merestui  kekufuran dan kesyirikan.

Hari Kasih Sayang Dalam Islam

Islam adalah agama kasih sayang, yaitu kasih sayang yang benar dan bukan pelecehan kehormatan. Dalam Al-Qur’an banyak disebutkan sifat Allah Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wasallam adalah manusia yang penuh dengan kasih sayang dan mengajarkan kasih sayang.

Beliau bersabda: “Orang-orang yang penyayang pasti disayang oleh Sang Maha Penyayang. Sayangi yang di bumi, pasti yang di langit sayang kepadamu.”…
“Siapa yang tidak menyayangi, dia tidak akan di sayangi.”

Jadi, dalam agama Islam setiap hari adalah Hari Kasih Sayang…

Alhamdulillah, aku bangga jadi orang Islam, buat apa meniru-niru yang lain….

Akhukum Fillah
@AbdullahHadrami

🌍📚 WA MTDHK (Majelis Taklim dan Dakwah Husnul Khotimah) kota Malang, Bimbingan Al-Ustadz Abdullah Sholeh Al-Hadromi hafidhahullah 📚🌏

📌 Untuk bergabung WA MTDHK silahkan ketik kata “Gabung” dan kirim WA (bukan SMS) ke nomer +62 838 48104654 atau +62 838 48634832.

Silahkan disebarkan kiriman ini sebagaimana aslinya tanpa dirubah sedikitpun, semoga bermanfaat dan menjadi amal jariyah.. Jazakumulloh khoir.